Perempuan Difabel Penyintas TBC Asal Solo
Difabel Penyintas TBC – Perempuan asal Solo yang menjadi penyintas TBC ini harus melewati perjuangan berat selama bertahun-tahun. Ia bahkan sampai dijauhi orang-orang terdekat termasuk sang kakak.
Mengutip Solo Pos, Ia menceritakan perjuangannya melawan penyakit tersebut. Lima tahun tanpa gejala, Ajeng Sierraningrum, penyintas TBC asal Solo, akhirnya mengetahui dirinya tertular bakteri Tuberculosis (Tbc) pada 2014.
Perempuan penyandang disabilitas itu mengaku hanya mengalami batuk darah dua kali selama kurun waktu itu. Gejala itu ia dapati kali pertama sesudah pulang beraktivitas pada awal 2009. Ia batuk ringan kemudian mengeluarkan darah. Panik, ia lantas periksa ke dokter.
“Dokter hanya bilang batuk biasa karena saya tidak mengalami gejala batuk sebelumnya. Dokter mengira saya banyak minum kopi hingga batuk itu,” kata penyintas TBC asal Nusukan, Banjarsari, Solo, itu kepada Solopos.com, Sabtu (17/4/2021).
Lima tahun berikutnya, ia mengalami batuk tidak berhenti lalu mengeluarkan darah dengan jumlah lebih banyak. Ajeng langsung ke Puskesmas dengan harapan mengetahui penyebabnya.
“Puskesmas bilang tidak apa-apa. Saya tidak yakin, lalu periksa ke dokter spesialis paru. Dari situ, saya didiagnosis kena TBC sudah sejak lima tahun lalu. Artinya batuk darah saya pada 2014 itu saya sudah TBC,” ceritanya.
Obat Mahal
Diagnosis tersebut membuatnya harus menebus obat berbiaya mahal. Dua pekan ia harus merogoh kocek Rp500.000 sementara pengobatan minimal dilakoni selama enam bulan. Ajeng kemudian meminta rujukan dari Puskesmas agar bisa berobat gratis.
Setelahnya, penyintas TBC asal Solo itu menjalani pengobatan tak putus selama enam bulan. Namun, belum genap enam bulan, ia kembali batuk darah dengan volume lebih banyak dari dua batuk darah sebelumnya.
“Pada 2016 itu, saya kemudian inisiatif ke RSUP Jajar [Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat/BBKPM] Solo. Saya rawat inap sampai tiga kali. Kali ketiga inap itu saya diminta ke RSUD dr Moewardi dan diketahui saya sudah TBC MDR atau multidrug-resistant tuberculosis,” ucapnya.
Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan, TBC MDR disebabkan Mycobacterium tuberculosis (M-tb) yang resisten terhadap dua obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu isoniazid (H) dan rifampisin (R). Penyebab resistensi mungkin dari penyedia pelayanan kesehatan, penyediaan atau kualitas obat tidak adekuat, faktor bakteri, atau dari pasien itu sendiri.
Keluar Dari Pekerjaan
TB MDR membutuhkan pengobatan jangka panjang dengan OAT lini kedua yang lebih mahal dan efek samping lebih berat. Selama menjalani pengobatan itu, penyintas TBC asal Solo itu harus keluar dari pekerjaannya. Ajeng harus menghidupi dirinya sendiri sambil terus berobat.
Beruntung, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah menanggung seluruh biaya hidup, sementara Pemerintah Kota (Pemkot) Solo memberikan ongkos transport berobat.
“Bantuan dana dari dunia [Global Fund] lewat Aisyiah juga ada berupa sembako senilai Rp500.000 per bulan. Kalau dihitung totalnya dari Pemprov dan Pemkot sekitar Rp2 juta per bulan. Selama dua tahun, saya menerima senilai itu dan saya masih bisa menabung,” kisahnya.
Setelah pengobatan selesai, Ajeng akhirnya kembali beraktivitas normal. Selama berobat, penyintas TBC itu bergabung dengan Perkumpulan Semar Solo.
Lewat Semar yang artinya semangat membara berantas tuberkulosis, ia bertemu pasien lain dan para penyintas TBC RO. Seluruh anggota perkumpulan saling berbagi pengalaman. Dukungan moral dan semangat menjadi obat mental.
Menjadi Sukarelawan
“Karena saya merasa dibantu, saya kemudian juga menjadi sukarelawan. Saya berbagi optimisme bahwa TBC MDR bisa disembuhkan. Kendati terbatas, saya berusaha berbagi pengalaman lewat platform apa pun yang saya bisa. Misalnya, lewat grup Whatsapp dan sebagainya,” katanya.
Warga Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari itu mengaku sempat dijauhi orang-orang terdekat, bahkan kakaknya sendiri. Mereka takut tertular apabila berdekatan, meski penyintas TBC asal Solo itu selalu memakai masker saat berinteraksi dengan orang.
Petugas puskesmas yang mendampinginya lah yang membuatnya bersemangat untuk sembuh. Petugas ini kerap singgah ke rumahnya untuk mengecek kondisi dan tak segan duduk berdekatan.
Pengalaman itu membuatnya ingin memberi dukungan moral kepada mereka yang masih terinfeksi. Ia tak pernah absen mengikuti pertemuan yang diinisiasi oleh RSUD dr Moewardi (RSDM) Solo.
“Pertemuan tersebut jadi ajang berbagi pengalaman. Meskipun kondisi saya terbatas, saya berusaha untuk datang. Saya tidak aktif berburu pasien positif, jadi hanya datang di pertemuan-pertemuan saja. Lalu obrolan berlanjut di WhatsApp.”
Sumber : Solopos