Bayi berusia di bawah lima tahun atau balita di Bontang, Kalimantan Timur ( Kaltim ) terpapar penyakit tuberculosis ( TBC ) atau paru-paru.
Penyebaran penyakit TBC di Kota Bontang, Kaltim masih terbilang tinggi.
Berdasarkan data 2022, tercatat 788 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 716 orang yang telah terdeteksi dan mendapatkan penanganan.
Dari keseluruhan kasus TBC di Bontang, 43,9 persen pengidap TBC berasal dari kalangan orang dewasa.
Disusul 34,8 persen dari kalangan anak-anak, sebanyak dan 21,2 persen disumbang dari kelompok lanjut usia (lansia).
Risiko penyebaran yang terbilang tinggi cukup membuat Pemkot Bontang kewalahan hingga harus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi penyebaran TBC.
Terlebih risiko penyebaran lebih besar berasal dari kalangan rentan yakni anak usia bawah lima tahun (balita) dan anak-anak.
Belakangan tren kasus kalangan anak-anak dan balita meningkat signifikan lebih 100 persen, dalam satu tahun terkahir.
Data yang dirilis Dinas Kesehatan ( Dinkes ) Bontang 2021, angka anak terpapar TBC berjumlah 248 kasus.
Angka itu melejit naik jika dibandingkan anak terpapar TBC pada 2020, yang jumlahnya hanya 81 kasus. Angka penyebaran TBC disebut cukup merata di 15 kelurahan di Bontang.
Namun pada tahun ini, hanya ada lima kelurahan di Bontang yang akan mendapat prioritas penanganan TBC.
Lima kelurahan itu yakni Bontang Kuala, Lok Tuan, Guntung, Tanjung Laut, dan Berbas Tengah.
Kelurahan tersebut mendapat prioritas karena dinilai risiko penyebarannya lebih besar dibanding wilayah lain.
Angka kasusnya tidak sebanding dengan jumlah populasi penduduk.
Berbagai upaya menangani TBC ini pun telah dilakukan.
Belum lama ini, Pemkot melantik pengurus ranting kelurahan Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia (PPTI) Kota Bontang.
Para pengurus ranting di kelurahan itu dilantik oleh Ketua PPTI Kota Bontang, Hafidah Basri Rase.
Saat pelantikan, istri Wali Kota Bontang itu langsung mengarahkan para pengurus ranting PPTI di kelurahan untuk bergerak cepat membantu pemerintah melawan TBC.
Pengurus PPTI akan membantu pemerintah dalam segi pendataan warga yang terpapar.
Pendataan akan mempermudah pemerintah melakukan pemetaan serta tracing orang yang kontak fisik dengan penderita TBC.
“Selain itu, PPTI juga memberikan perhatian khusus terhadap penderita TBC dari kalangan anak-anak dan balita. Karena dipercaya, anak-anak dan balita merupakan kelompok yang paling rentan terpapar,” ujarnya.https://d-1927779878696218705.ampproject.net/2306202201000/frame.html
Tenaga PPTI mulai dari kelurahan hingga tingkat kota akan dimaksimal untuk membantu Pemkot Bontang.
Pemkot sebagai leading sector penanganan TBC, juga harus mengoptimalkan kerja-kerja sejumlah perangkat atau OPD terkait.
Salah satunya, meningkatkan kualitas layanan kesehatan khusus penderita TBC di semua faskes.
Saat ini semua puskesmas telah menyediakan tenaga kesehatan dan layanan pengobatan gratis untuk penderita TBC.
Ketersediaan layanan gratis itu untuk menumbuhkan kesadaran serta memudahkan penderita TBC untuk aktif memeriksakan perkembangan kesehatan mereka.
Kesulitan Dinkes Bontang memberangus kasus TBC selama ini dilatari minimnya kesadaran warga memeriksakan kondisi mereka, meski telah merasakan gejala awal.
Dokter Spesialis Paru-paru Rumah Sakit Pertamina Balikpapan dr. Subagyo, Sp.P(K), FISR mengatakan, anak-anak cenderung lebih mudah terinfeksi.
Secara umum, paru-paru lebih berisiko terkena virus atau kuman dibandingkan organ lain karena fungsinya yang tak jauh dari sistem pernapasan.
Sebab adanya kontak langsung dengan udara yang masuk melalui hidung, membuat paru-paru kerap menerima udara secara luas.
Paru-paru anak lebih rawan terkena penyakit dibanding orang dewasa.
Selain itu, jelasnya, meskipun struktur organ paru-paru yang dimiliki keduanya sama, namun sistem pertahanan yang dimiliki anak-anak atau balita belum sekuat orang dewasa karena masih dalam masa pertumbuhan.
“Orang dewasa saja berisiko, apalagi anak-anak. Karena anak-anak masih dalam pertumbuhan. Karena pertumbuhan itulah, anak-anak lebih berisiko terinfeksi.
Sistem imunitasnya belum sempurna,” jelasnya, Minggu (25/6/2023).https://d-29324048584056382310.ampproject.net/2306202201000/frame.html
Dalam kasus anak TBC, dr Subagyo menjelaskan, pengobatan ataupun penanganan penyakit paru-paru cenderung lebih lambat.
Hal ini dikarenakan sulitnya komunikasi antara orang tua dengan si balita yang belum dapat berbicara.
“Seperti bayi atau balita yang belum bisa berkomunikasi. Mereka pasti mengungkapkan rasa sakitnya hanya dengan menangis.
Makanya, orang tua cenderung kurang mengerti. Sehingga pengobatannya jadi lebih tertunda,” ungkapnya.
Menurutnya, selain masuk melalui saluran pernapasan, kuman TBC juga dapat menyebar ke organ lainnya seperti ginjal, tulang, hingga otak.
Sehingga, dapat menimbulkan penyakit pada organ lain, bahkan memperlambat pertumbuhan si buah hati.
“Kuman TBC itu masuknya lewat saluran napas. Makanya sebagian besar TBC ada di paru-paru.
Tapi selain itu, bisa juga menyebar ke ginjal, tulang bahkan otak, kecuali gigi dan rambut. Makanya kalau menyebar ke otak, akan mengganggu pertumbuhannya dan lain-lain,” jelasnya.
Tak cukup sampai di situ. Ia juga membeberkan, dengan adanya penyakit paru-paru yang diderita, oksigen yang masuk ke dalam tubuh juga berkurang hingga menghambat sistem lain dan berujung pada banyaknya implikasi.
Untuk itu, ia mengimbau agar para orang tua melakukan identifikasi dini pada anak saat mengalami gejala TBC.
“Jadi semakin dini atau semakin awal diketahui seseorang anak kena TBC, maka penanganan dan pengobatan akan semakin mudah,” ucapnya.
Sedangkan untuk anak yang telah terkena penyakit TBC, ia menyarankan untuk melakukan pengobatan selama minimal 6 bulan yang dijalankan dalam 2 fase.
Dua bulan pertama mengkonsumsi 3 obat bagi anak dan 4 obat bagi orang dewasa yang terjangkit TBC.
Selanjutnya pengobatan selama 4 bulan dengan kombinasi 2 obat hingga selesai. Kalau pengobatannya sesuai, sebagian besar hampir semuanya sembuh.
Asal tetap melakukan pengecekan ke dokter setelah pengobatan 6 bulan.
Selain itu, ia juga mengimbau, selama pengobatan bahkan setelahnya juga harus dibarengi dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang bergizi guna menghindari komplikasi penyakit lain di dalam tubuh.
Dr Subagyo juga menerangkan, harus melakukan pengecekan pada lingkungan masyarakat yang terkena TBC guna memutus penyebaran penyakit tersebut.
“Makanya ada aturan, kalau ada 1 orang TB, maka orang yang satu lingkungan, semuanya harus diskrining untuk mencaritahu, siapa saja yang sudah terinfeksi meski belum ada keluhan.
Dari situ, kita dapat mencegah semakin luasnya virus TBC di lingkungan kita. Karena telah dilakukan pengobatan dini,” pungkasnya.(m23/m12)
sumber dari : https://kaltara.tribunnews.com